SUDAH sering polisi menggerebek dan menembak mati para teroris. Tapi, semua itu belum menjadi pertanda bahwa terorisme segera berakhir di negeri ini. Sebaliknya, penggerebekan dan penembakan terhadap para teroris seakan menjadi "penetas" para teroris baru yang berkembang biak dengan pola "mati satu tumbuh seribu".
Bila benar apa yang dilansir kepolisian bahwa para perampok Bank CIMB Niaga Medan terkait dengan jaringan terorisme, hal itu sungguh mengkhawatirkan. Di satu sisi, regenerasi dan ideologi terorisme terus berkembang. Di sisi lain, pola kejahatan para teroris semakin membabi buta. Bahkan, mereka berani merampok secara terbuka.
Pada tahap itu, polisi dan aparat keamanan terkait lain seharusnya melakukan koreksi serius terhadap pendekatan yang selama ini digunakan untuk memerangi para teroris, yaitu pendekatan angkat senjata. Koreksi tersebut diperlukan bukan semata-mata karena pendekatan angkat senjata tidak berhasil menumpas para teroris. Faktanya, sejumlah tokoh terorisme telah ditumpas dengan pendekatan tersebut. Selain itu, kini tentu persoalan terorisme jauh lebih ringan daripada saat tokoh-tokoh utamanya masih berkeliaran menebar ancaman.
Koreksi tersebut dibutuhkan untuk memperpendek masa perang melawan terorisme sehingga tidak menjadi berkepanjangan, apalagi tidak pernah selesai.
Kegagalan AS
Dalam konteks itu, pihak keamanan Indonesia harus mengambil pelajaran berarti dari perang terorisme global di bawah komando Amerika Serikat (AS). Telah maklum bersama, AS secara resmi memimpin perang global melawan terorisme pada 2001. Tepatnya, sesaat setelah tragedi 11 September 2001 meruntuhkan hampir semua simbol adidaya negeri itu, mulai ekomoni (WTC) hingga militer (Pentagon), serta mengorbankan ratusan ribu rakyat AS.
AS menuduh kelompok Osama bin Laden sebagai dalang utama di balik tragedi yang juga dikenal dengan istilah 9/11. Pada saat yang hampir bersamaan, AS menggalang koalisi putih untuk memerangi terorisme, terutama dari Osama dan kelompoknya yang saat itu berada di Afghanistan.
Tudingan pemerintah AS bahwa kelompok Osama adalah teroris merupakan tuduhan bersayap. Entah disengaja atau tidak (oleh pemerintah AS), tudingan itu kerap juga dialamatkan kepada agama yang dianut Osama dan kelompoknya, yaitu Islam. Akibatnya, Islam pun kerap dianggap sebagai agama kekerasan dan terorisme, terutama oleh orang-orang Barat.
Bahkan, tudingan tersebut juga mengarah pada latar belakang kebangsaan Osama dan kelompoknya, yaitu Arab. Orang-orang Arab pun cenderung diidentikkan dengan para teroris, terutama orang Arab yang hidup di Barat.
Tragedi 9/11 menjadi babak baru bagi hubungan Islam-Barat yang sarat akan ketegangan, rasa saling curiga dan memusuhi, bahkan aksi-aksi diskriminatif. Dalam konteks itu, orang-orang Arab-Islam di Barat cenderung dicurigai dan mendapatkan perlakuan diskriminatif karena memiliki nama berbau Arab atau berjenggot.
Tentu tidak semua tudingan tersebut benar. Tapi, juga tidak semuanya salah. Dikatakan tidak semuanya benar karena fakta memperlihatkan sangat banyaknya kelompok Islam yang moderat, anti kekerasan, dan mengecam terorisme. Bahkan, kelompok moderat di dunia Arab-Islam merupakan mayoritas. Namun, kalangan mayoritas muslim moderat tersebut cenderung diam dan pasif, sebagaimana pernah dikatakan oleh Prof Dr Khalid Aboe El-Fadl (silent majority). Karena itu, kalangan ekstremis dan teroris leluasa melukis wajah Islam dengan "tinta" darah.
Dikatakan tidak semuanya salah karena fakta juga menunjukkan bahwa sebagian kelompok dalam Islam gemar menyerukan pesan-pesan kekerasan, permusuhan, bahkan terorisme. Berdasar kuantitas, kelompok itu sangat kecil. Tapi, karena sering memosisikan diri sebagai musuh negara adidaya, seperti AS, kelompok tersebut kerap mendapatkan "dukungan tak langsung" dari media-media dunia. Sehingga, kelompok kecil seperti para teroris itu kerap menjelma sebagai kelompok yang besar, kuat, dan sangat tangguh. Bahkan, ajaran kasih sayang dan saling menghormati yang senantiasa diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW kerap tenggelam dan tertelan pesan-pesan kekerasan dari Osama.
Hal yang harus diperhatikan bersama, perang AS melawan terorisme di Afghanistan belum menunjukkan tanda-tanda kemenangan hingga hari ini. Walaupun, perang itu sudah memakan banyak korban dan berlangsung sepuluh tahun. Sebaliknya, hampir setiap hari tentara AS berjatuhan di pegunungan Afghanistan yang menjadi medan perang.
Hal itu tak berarti peluru yang ditembakkan oleh para tentara AS di Afghanistan tidak berhasil membunuh para teroris dan pengikut Osama atau Taliban. Hampir sama dengan aparat keamanan dalam menembak mati para teroris di Indonesia, tentara AS di Afghanistan telah membunuh banyak teroris, pengikut Osama dan Taliban, serta fundamentalis lain. Tapi, apalah arti keberhasilan menembak satu atau seratus teroris bila kemudian ideologi terorisme justru diikuti ribuan teroris baru? Itulah yang kurang lebih dialami AS di Afghanistan.
Hal tersebut terjadi karena pendekatan angkat senjata AS tidak dibarengi dengan pendekatan lain yang terkait langsung dengan sumber kebencian utama terhadap AS, terutama di Timur Tengah dan dunia Islam. Yaitu, kebiadaban Israel terhadap warga Palestina dan negara-negara tetangga lain. Sementara itu, kebijakan politik luar negeri AS (terutama pada pemerintahan Bush Junior) terus membela dan menutup mata dari kejahatan besar yang kerap dilakukan oleh Israel.
Konteks Indonesia
Perang terhadap terorisme oleh aparat keamanan Indonesia selama ini mempunyai kemiripan yang nyaris sempurna dengan yang dilakukan oleh AS itu. Aparat keamanan, terutama Densus 88, senantiasa mengutamakan pendekatan angkat senjata terhadap para teroris atau mereka yang baru diduga teroris. Sejauh ini, nasib perang terhadap terorisme di Indonesia pun nyaris sama dengan yang dialami AS dalam perang teorisme global. Yakni, sama-sama gagal memberikan rasa aman dari ancaman terorisme kepada masyarakat dan justru terjebak dalam perang yang berkepanjangan.
Sebelum perang terhadap terorisme di Indonesia benar-benar bernasib sama dengan yang dialami AS itu, aparat keamanan Indonesia dan pemerintah harus mengimbangi pendekatan angkat senjata dengan pendekatan-pendekatan lain yang menjadi solusi konkret bagi segenap persoalan yang ada. Misalnya, persoalan kemiskinan, aparat yang bersih dari korupsi, dan penegakan hukum yang adil. Juga, menyebarluaskan paham keagamaan dengan semangat persaudaraan-kebangsaan untuk melawan paham keagamaan yang memiliki semangat kebencian atau kekerasan. Itulah sumber kebencian dan terorisme di Indonesia. (*)
*) Hasibullah Satrawi, alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir, dan pemerhati politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
No comments:
Post a Comment