Pages

Friday, September 24, 2010

MU-Barcelona 1990-91, Kembalinya citra Inggris

GETTY IMAES
Pemain MU, Mark Hughes dan rekannya, memegang trofi Piala Winners, setelah di final mengalahkan Barcelona 2-1.

FINAL Piala Winners 1990-91 di Rotterdam yang mempertemukan Barcelona dan Manchester United justru mendapat perhatian besar. Mungkin sama besarnya dengan final Liga Champions yang mempertandingkan Red Star belgrade lawan Marseille di musim yang sama. Sebab, Barcelona sedang menjadi klub paling glamor. Sedangkan MU menjadi klub Inggris pertama yang tampil di final kompetisi Eropa, setelah Tragedi Heysel.

Piala Winners memang tergolong kompetisi kelas dua setelah Liga Champions, tapi tetap menggugah rasa emosi. Barcelona bertabur bintang, sedangkan MU membawa rasa penasaran. Akankah klub Inggris bisa kembali berpengaruh di kompetisi Eropa?

Pertanyaan itu memang layak dilayangkan. Klub-klub Inggris sudah lima tahun tak mengikuti kompetisi Eropa (Liga Champions, Piala Winner, dan Piala UEFA), akibat Tragedi Heysel. Tragedi di final Piala Champions 1984-85 antara Juventus dan Liverpool itu diwarnai kerusuhan. Terutama suporter Liverpool begitu garang, hingga menewaskan 39 pendukung Juventus.

Maka, sukses MU ke final Piala Winners membawa beban nasional. Tim asuhan Alex Ferguson harus tampil mengesankan dan simpatik, demi kembalinya nama baik sepak bola Inggris. Kemenangan juga sangat penting artinya untuk mengabarkan bawa klub Inggris telah kembali ke tingkat Eropa.

Sayang, klub yang harus dihadapi adalah Barcelona yang baru saja memastikan gelar juara Divisi Primera dengan selisih 9 poin. El Barca di bawah pelatih Johan Cruyff begitu glamor dan megah. Mereka memiliki beberapa bintang kelas atas. Di bawah mistar ada Andoni Zubizarreta. Nama tenar lain adalah Ronald Koeman, Albert Ferrer, Michael Laudrup, Hristo Stoitchkov, dan Jon Andoni Goikoetxea.

Sementara MU, meski pernah merajai kompetisi Eropa di era 1960-an, menjadi finalis underdog. MU selama era Ferguson belum menunjukkan taji yang berarti, bahkan lebih sering gagal di berbagai kompetisi lokal.

Ferguson pun menyadari, mengalahkan Barcelona akan menjadi pekerjaan berat. Tapi, dia punya keyakinan kuat. Apalagi, dia pernah membawa Aberdeen mengalahkan Real Madrid 2-1 pada 1983. Saat itu, Madrid juga sedang hebat-hebatnya.

“Saya terinspirasi oleh kemenangan Aberdeen. Jika waktu itu kami bisa mengalahkan tim besar, berarti bisa diulang kembali,” katanya waktu itu.

Keyakinan Ferguson memengaruhi mental para pemain. Pasukan Setan Merah juga merasa tertantang untuk menaklukkan Barcelona. Apalagi, kemenangan akan sangat bermakna. Bagi klub, juara Piala Winners akan mengakhiri paceklik gelar kompetisi Eropa selama 23 tahun. MU terakhir menjuarai Piala Champions musim 1967-68.

Makna kedua, gelar juara akan mengembalikan citra sepak bola Inggris yang sudah tenggelam selama lima tahun karena terlarang tanding di kompetisi Eropa. Sukses itu juga bisa menginspirasi klub-klub Inggris lain untuk bangkit dan kembali berprestasi di tingkat Eropa.

Hebatnya, kiprah MU langsung mengesankan. Mereka mampu membawa gelar juara, sekaligus membangkitkan kembali pengaruh sepak bola Inggris di kompetisi antarklub Eropa. Awal yang indah setelah lima tahun menjalani hukuman dari UEFA.

PEMBALASAN HUGHES

Meski kalah kualitas, U tapaknya juga dibantu keberuntungan. Justru pada partai puncak, Barcelona didera krisis pemain. Andoni Zubizarreta terkena akumulasi kartu. Gelandang Guillermo Amor juga tak main karena sebelumnya terkena kartu merah, sementara Stoitchkov cedera.

Meski begitu, El Barca tetap diunggulkan sebelum pertandingan. Mereka masih memiliki tim yang solid. Koeman, Laudrup, Ferrer, Goikoetxea, Salinas, dan Beguiristian tetap bisa tampil.

Tapi, semangat menggebu di dada pasukan Setan Merah membuat El Barca kesulitan meladeni. Apalagi, di lini depan MU ada Mark hughes yang menyimpan dendam pribadi. Dia pernah disia-siakan El barca saat bergabung dengan klub itu pada usim 1986-87. Baru semusim, dia seolah disingkirkan dan dipinjamkan ke Bayern Muenchen.

“Barcelona telah melakukan kesalahan besar karena membuang diriku. Pertemuan dengan Barcelona di final Piala Winners begitu emosional. Aku ingin membuktikan kesalahan Barcelona itu,” kata Mark Hughes sebelum partai final.

Meski sempat mencoba mendikte permainan, Barcelona akhirnya terus kesulitan menghadapi serangan demi serangan yang dilancarkan geng Old Trafford itu. Bahkan, beberapa kali gawang El Barca yang dikawal kiper cadangan, Basquets, terancam.

Mark Hughes termasuk salah satu pemain yang aktif menekan dan mengancam gawang mantan klubnya itu. Ronald Koeman dkk pun sering kewalahan membangun pertahanan. Apalagi, MU sering menerapkan serangan dari samping dan melepaskan umpan-umpan silang.

Janji Hughes akhirnya diwujudkan. Pada menit ke-68. Tendangan bebas Bryan Robson dilanjutkan Steve Bruce debngan kepalanya. Bola yang melewati depan gawang itu langsung dicocor Hughes, 1-0.Tujuh menit kemudian, Hughes lepas dari pertahanan El Barca dan bebas memburu umpan Robson. Setelah menggocek kiper Basquet, dia tanpa kesulitan membawa MU unggul 2-0. El Barca hanya bisa memperkecil kekalahan lewat Ronald Koeman dari tendangan bebas pada menit ke-79.

Dalam sisa 10 menit, MU bukannya mengendorkan serangan dan bertahan. Mereka malah terus menekan. Bahkan Hughes nyaris mencetak hat-trick, jika saja tak diganjal Nando yang akhirnya terkena kartu merah.

Meski begitu, skor 2-1 tetap bertahan dan MU berhak atas Piala Winners. Kemenangan yang tak hanya disambut gembira oleh pendukung MU, tapi juga seluruh rakyat Inggris. Gelar itu menandai klub-klub Inggris telah kembali di kancah Eropa dan siap menancapkan pengaruhnya lagi. Citra sepak bola Inggris yang sempat terpuruk akibat Tragedi heysel, kini mulai terangkat kembali. (HPR)

Selamatkan karier Ferguson

Sejak memegang tim tahun 1986, Alex Ferguson termasuk lambat membawa kesuksesan Manchester United. Gelar tak kunjung datang, sampai-sampai semua orang berpendapat dia bukan orang yang tepat. Usul pemecatan pun sering terdengar.

Fergie – sapaan Ferguson – malah sempat putus asa. “Saya sampai tak pernah keluar malam. Menutup diri dari semua hal,” keluhnya terhadap prestasi MU waktu itu.

Beruntung, pada musim 1989-90, MU berhasil menjuarai Piala FA. Gelar itu sempat menghentikan cercaan, tapi tetap saja dia diragukan. Nah, gelar Piala Winners itulah yang akhirnya benar-benar mengubur suara-suara pemecatan kepadanya. Fergie – begitu dia akrab disapa – mulai dipercaya bakal membawa kebesaran buat Setan Merah. Kecerdasan, kejelian, dan kelihaian Fergie sebagai ahli strategi lambat-laun terungkap dan diakui. Berikut sebagian kunci sukses Fergie.

Punya strategi yang paten dan dia selalu yakin terhadap strateginya.
Jeli memilih pemain-pemain yang tepat untuk menjalankan strateginya. Salah satunya menarik kembali Mark Hughes dari Bayern Muenchen, merekrut Paul Ince, kemudian disusul Eric Cantona, Roy Keane, dan melambungkan pemain muda macam Ryan Giggs, dsb. Berani melakukan perombakan materi pemain secara besar-besaran. Termasuk berani membuang bintang yang tak cocok.

Berani menerapkan gaya sepak bola yang dia rasa efektif. Sejak dipegang Fergie, MU meninggalkan gaya sepak bola Inggris (kick and rush) dan nyatanya sukses. (HPR)

Rekaman pertandingan
Ajang:
Final Piala Winners
Skor: 2-1
Tanggal: 15 Mei 1991
Stadion: De Kuip
Penonton: 45.000
Wasit: Ion Craciunescu (Rumania)
Skuad MU: Sealey; Irwin, Bruce, Pallister, Blackmore, Phelan, Robson, Ince, Sharpe, Hughes, McClair (Pelatih: Alex Ferguson)
Skuad Barcelona: Busquets, Alexanco, Nando, R. Koeman, Ferrer, Goikoetxea, Eusebio, Baquero, Beguiristain, Salinas, M. Laudrup (Pelatih: Johan Cruyff)


No comments:

Post a Comment