KOMPAS.com — Rumah sungguh menjadi oase batin bagi Bambang Widodo Umar (62), pengamat kepolisian yang senantiasa kritis itu. Di rumahnya yang teduh bersahaja ini, Bambang merasa benar-benar pulang.
Siang itu, teriknya matahari tak membawa pengaruh di rumah ini. Baru dari tampak luar saja, rumah di kawasan Haji Nawi, Gandaria Utara, Jakarta Selatan, ini mengingatkan orang pada rumah-rumah dalam film-film Indonesia tahun 1970-an. Ketinggiannya berada pada level permukaan yang sama dengan jalanan gang di muka rumah. Bersahaja, apik terawat. Pagar besi yang cukup rendah—hanya setinggi dada—membuat rumah ini terkesan akrab.
Suasana teduh dan tenteram sudah terasa di teras rumah yang cukup lapang. Di sini, siapa pun akan betah duduk-duduk menghabiskan sore. Di teras itu, dua kursi tua berpelitur gelap bersanding anteng dengan meja bundar marmer yang juga tampak tua. Teriknya matahari siang itu rupanya mampu teratasi berkat halaman rimbun memanjang di depan teras ini. Pohon mangga, bugenvil berbunga merah, belimbing wuluh, dan tanaman hias tumbuh subur dan terawat. Beberapa tanaman hias dalam pot berjejer apik di muka teras.
Tak berapa lama, Bambang muncul dari pintu depan dengan kaus polo dan celana bermuda selutut. Santai. Rabu itu, kebetulan tak ada jadwal mengajar. ”Nanti sore saya baru ada janji di Kontras,” ujar Bambang.
Bambang lalu bersalin pakaian sebelum kemudian melanjutkan mengobrol di ruang tamu. Beberapa perabot kuno yang eksis di rumah ini rupanya bukan karena sengaja dihadirkan untuk menciptakan kesan kuno. Beberapa perabot itu sejak berpuluh tahun yang lalu memang tak pernah diganti. Rumah itu pun, mulai dari pagar, lantainya yang berubin teraso, hingga kusen jendela, menurut Bambang, tak pernah mengalami perubahan apa pun sejak pertama didiami dulu.
Sementara ruangan tamunya terbagi menjadi dua bagian, di sisi kiri pintu masuk dan sisi kanan. Sebuah bufet pajangan yang rendah berada di dinding ruangan sebelah kiri. Di atasnya foto-foto berbingkai kecil bergambar keluarga Bambang berjejer rapi. Di dalam bufet kaca itu tampak tersimpan beberapa porselen dan tea set kuno. Penataannya amat identik dengan rumah-rumah tempo dulu.
Perabot-perabot tua itu menjadi saksi bisu perjalanan hidup penghuninya berpuluh-puluh tahun. ”Semuanya ini enggak pernah ditata secara khusus, ya, begini-begini saja,” ujar Bambang.
Termasuk halaman mungil di bagian muka, rumah seluas 400 meter persegi itu sudah ditinggali orangtua Bambang sejak akhir 1960-an. Ketika itu, kawasan sekitar H Nawi masih berupa kebun. ”Namun, ayah lebih sering di Bandung karena mengajar di sana. Jadi, ibu yang lebih lama tinggal di sini,” cerita Bambang.
Taman mungil
Sebuah taman mungil di dalam rumah artinya bisa amat signifikan bagi Bambang Widodo Umar. Taman mungil berukuran sekitar 3 meter x 3 meter itu terletak di bagian tengah rumah berbatasan dengan salah satu dinding ruang tamu. Taman itu juga berbatasan dengan ruang tengah, tempat Bambang sehari-hari bekerja di meja kerjanya.
Bambang meletakkan meja kerjanya menghadap jendela ke arah taman mungil itu. Kala matanya penat di hadapan komputer, memandang taman yang terang itu membuat matanya lebih sejuk. Maklum, memeriksa tugas para mahasiswa pasti membuat matanya lelah. ”Lumayan, mata jadi lebih segar,” kata Bambang.
Dari taman mungil dan rumah teduh bersahaja Pak (mantan) Polisi itu mengamati hiruk peristiwa yang terjadi di panggung kehidupan bangsanya.
Bambang, istri, dan ketiga anaknya baru benar-benar mendiami rumah tersebut sejak tahun 1998. Dia tersandung masalah di Polri karena dianggap terlalu vokal dan akrab dengan kalangan aktivis dari berbagai LSM. Di Polri, Bambang, sejak tahun 1989, bertugas mengajar di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespim).
Pada masa itu pula, ia kuliah mengambil program pascasarjana di Jurusan Sosiologi Universitas Padjajaran. Pada masa itu, Bambang juga aktif mengikuti berbagai diskusi mahasiswa di kampus.
Dari aktivitas di kampus itu, Bambang akhirnya dekat dengan kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Melalui diskusi-diskusi yang mencermati undang-undang subversi, Bambang lalu akrab dengan Bambang Widjojanto, Teten Masduki, dan juga almarhum Munir. Dalam suatu diskusi terbuka di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia tahun 1997, Bambang membawakan makalah bertema kekerasan polisi.
Gara-gara itulah, Bambang kemudian diperiksa intel dan dicopot dari Sespim sebagai pengajar, lalu diposisikan di Detasemen Markas (Denma) Mabes Polri tanpa jabatan ataupun tugas khusus.
Pada tahun 1998, setelah menuntaskan program S-3 pada jurusan yang sama, Bambang sekeluarga memutuskan pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah orangtuanya di kawasan H Nawi. Terlebih, memang tak ada lagi tugas yang harus diembannya di kepolisian sejak dicopot dari Sespim di Lembang.
Bambang akhirnya resmi keluar dari Polri tahun 2001.
Sejak itu hingga kini, Bambang lebih banyak bergelut di dunia akademik dan LSM. Dalam sepekan, empat hari dihabiskannya untuk mengajar di Universitas Indonesia Jurusan Kriminologi dan Kajian Ilmu Kepolisian serta beberapa universitas swasta.
Meski kritik-kritiknya terhadap kinerja kepolisian tetap mengalir, tiada tekanan yang terlalu membebaninya. Kini, di rumah bersahaja itu kehidupannya jauh lebih tenteram.
No comments:
Post a Comment