Pages

Thursday, September 2, 2010

Kain Kafan Mama Loreng

Kain Kafan Mama Loreng
Jumat, 20 Agustus 2010 | 01:56 WIB

kristikislami.blogspot.com
ilustrasi
Cerpen Sam Edy Yuswanto
“Ibu? Paaak, liat ibu nih, Pak!” Siti terpekik begitu melihat wajah ibu menyembul berurai mata di televisi sembari memotong-motong kain berwarna putih.
Bapak yang sedang membersihkan cangkul di dapur tergopoh keluar.
“Ada, apa, Ti. Ibu udah pulang?”
“Pak, lihat, ibu masuk televisi!” Siti kembali berseru dengan telunjuk menukik ke layar kaca 14 inci.
“Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun, siapa yang ninggal, Ti. Kok? Ibu bisa ada di situ. Masuk tivi pula,” ucap bapak kaget begitu melihat ibu bersama puluhan ibu-ibu dan Mbak-Mbak sedang duduk berkerubung, menyiapkan kain kafan buat membalut seorang perempuan bertubuh gempal usia senja yang terbujur kaku terbalut kain jarik di lantai beralas permadani warna merah.
“Mama Loreng, Pak, si peramal kondang, yang suka didatangi para artis dan pejabat itu,” terang Siti tanpa menoleh, pandangannya tak berkedip menatap kotak ajaib warna hitam setengah meter di depannya.
“Mama Loreng meninggal? Ta… tapi ngapain ibu ikut-ikutan ngelayat ke sana segala?” sergah bapak kesal. Yup! Bapak memang paling benci dengan ulah para peramal yang membludak di negeri ini, yang menurutnya suka menjerumuskan orang-orang pada lembah kesesatan.
“Ya, apa salahnya sih melayat, Pak, kan jadi ikut nebeng terkenal, masuk tivi lagi, ah! Siti jadi nyesel tadi nggak ikutan ibu ke pasar,” ujar Siti masih bergeming dari posisi duduknya. Tadi pagi, memang ibu keluar rumah, pamitnya sama bapak sih mau belanja ke pasar. Tapi, nggak tahu, kenapa hingga sesiang ini ibu belum pulang. Dan, ealaaahh… mengapa tiba-tiba ibu begitu saja tanpa pesan sudah berada di rumah keluarga Mama Loreng?
“Hush! Jaga omonganmu, Ti. Melayat sih boleh saja, tapi liat-liat dulu siapa yang meninggal,” bapak mendengus kesal.
“Assalamu’alaikuum,” suara Ida, Mbak-nya Siti baru pulang dari kampus.
“Wa’alaikumussalaam,” balas bapak dan Siti nyaris bersamaan.
“Wah, lagi pada nonton berita apa, nih, kompak banget kayaknya?” kata Ida.
“Mbak, liat deh, ibu masuk tivi!” seru Siti semangat.
“Apa? Ibu masuk tivi?” Ida langsung membesarkan kedua matanya dan lekas duduk menjejeri adiknya. Menit selanjutnya…
“Astaghfirullah! Ibu ikutan ngelayat Mama Loreng?” pekik Ida.
***
Bapak menatap ibu yang baru pulang dari ngelayat almarhumah Mama Loreng dengan tatapan menyiratkan kekesalan. Sementara ibu malah tersenyum-senyum, entah apa yang dipikirkannya. Pulang ngelayat kok malah riang amat wajah ibu, batin Siti dengan tatapan heran penuh selidik.
“Bu, ibu tadi masuk tivi, iih ibu, Siti jadi nyesel deh tadi nggak ikutan ibu ke pasar,” sambut Siti heboh.
“Apa? Masuk tivi? Ja… jadi kalian semua sudah tahu kalo ibu habis melayat ke rumah Mama Loreng?” balas ibu antusias dengan gurat bangga tak percaya.
“Ngapain sih, ibu ikutan ngelayat ke sana segala? Kurang kerjaan saja. Kalo saja aku tahu kamu mau ke sana, tak bakalan aku kasih ijin!” kata bapak ketus.
“Eeeh, orang ngelayat kok malah dilarang, bapak ini gimana sih. Mama Loreng itu kan muslim, seperti kita, Pak. Lagian, tadi ibu kan nggak sengaja ke sana. Pas lagi belanja sayur, ibu-ibu pada heboh ngabarin kalo Mama Loreng meninggal dan pada berbondong ke sana, kebetulan kan arah rumah almarhumah Mama Loreng nggak begitu jauh dari pasar, jadi ya, kesempatan kan buat ikutan ngelayat, siapa tahu ikutan ketiban berkah,” cerocos ibu tanpa merasa ada yang salah dengan ucapannya.
“Apa? Berkah kamu bilang, Bu? Masya Allah, Bu... Istighfar! Bisa syirik kamu nanti..,” guratan shock langsung terlukis di wajah bapak.
Siti hanya membengong melihat perdebatan kedua orangtunya. Ia sangat tahu, kalo bapak ibunya memang berseberangan argumen tentang banyak hal.
“Bu, memang nggak ada masalah kalo ibu kepingin takziah ke sana, toh Ida dengar-dengar almarhumah Mama Loreng seorang muslim, tapi kalo sampai ibu mengharapkan ketiban berkahnya Mama Loreng, itu nggak dibenarkan dalam Islam, Bu,” sahut Ida dengan suara pelan yang langsung keluar kamar begitu mendengar orangtuanya berdebat.
“Tuh! dengerin kata anakmu yang sebentar lagi menyandang gelar sarjana!” Tambah bapak.
Ibu hanya manyun, lalu bergegas ke dapur dengan raut masih menyisakan protes tapi enggan meladeni. Bukannya tak bisa membantah, tapi kalau Ida sudah ikutan ngomong membela bapak, pasti ibu bakal kalah argumen. Siti mengekor langkah ibu. Ida menatap ibu dengan raut prihatin. Sementara bapak masih menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sirat wajah masih memeram kecewa atas tindakan dan jalan pikiran ibu yang sulit diluruskan.
***
“Ja… jadi ini sisa kain kafan Mama Loreng, Bu?” kedua mata Siti membeliak.
“Ssst! Jangan keras-keras ngomongnya, ntar kedengaran bapak sama Mbak-mu, bisa gawat,” bisik ibu sambil menempelkan telunjuknya ke bibirnya sendiri.
“Tapi buat apa, Bu?” Tanya Siti celingukan.
“Eeaalah, buat apa, masak kamu nggak pernah dengar kalo sesuatu yang masih berkaitan dengan Mama Loreng itu bertuah. Bisa dijadikan jimat buat penglarisan usaha warung makan ibu, kamu juga bisa menggunakannya biar bisa dapat jodoh sesuai keinginanmu,” ibu masih berbisik, sementara kedua bola matanya larak-lirik sana-sini, takut kepergok bapak atau Ida.
Siti menatap ibu dengan mata berkerjap-kerjap penuh arti. Sesungging senyum langsung menghias bibirnya.
“Bener, Bu?”
Ibu mengangguk dengan wajah mengguratkan binar. Sementara ibu dan Siti asyik berunding, sepasang telinga tak jauh dari situ, sedang menguliti pembicaraan mereka. 'Aku mesti memusnahkan kain penyebab syirik itu,' gumam gadis berjilbab yang tengah menguping ibu dan adiknya itu.
***
“Ssst! Heh, Siti, bangun!” ibu menggoyang-goyang kasar tubuh Siti yang tengah terlelap pagi itu. Kebiasaan Siti kalo pagi, habis Subuh langsung tidur lagi.
“Apaan sih, Bu, ngantuk nih!” sahut Siti sambil mengucek-ngucek kedua matanya yang masih merah.
“Kamu kemanakan kain itu, sini balikin, cepat!”
“Kain? Memang kainnya….,” Siti melebarkan kedua matanya sembari menarik tubuhnya dari kasur dengan malas.
“Ya, kain itu hilang. Siapa lagi kalo bukan kamu pelakunya. Kan cuma kamu dan ibu yang tahu potongan kain kafan itu. Ayo, sini balikin!” potong ibu sewot.
“Sumpah bukan Siti yang ngambil, Bu!”
“Alaaah, jangan bohong kamu, sini balikin! Kualat nanti kalo kamu bohongin orangtua!” ibu terus memaksa.
“Demi Allah, Siti nggak tahu, Bu!” seru Siti.
“Ssst! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya,”
“Ada apa sih, pagi-pagi heboh gitu,” sahut Ida langsung masuk kamarnya Siti.
“Eee..eehh, nggak ada apa-apa, kok, Da,” balas ibu rada gelagapan.
“Ida dengar tadi, ibu lagi nyari kain? Kain yang mana sih, Bu,” tanya Ida pura-pura tak tahu.
“Kain? Ah, salah dengar kamu, Da,” tangkis ibu.
“Oh, ya udah kalo gitu, kirain nyari potongan kain putih yang tadi Ida temukan di kolong meja,” sahut Ida sambil melangkah keluar kamar.
Ibu dan Siti saling pandang tanpa dikomando. Lalu…
“Da, di mana kain itu. Sini serahin ke ibu, itu kain yang ibu cari-cari,” seru Ibu mencegat langkah Ida.
“Lho, katanya tadi ibu nggak lagi nyari kain?” wajah Ida dibuat-buat bego. Padahal batinnya tersenyum geli.
“Udah, sini balikin kain itu,” sergah ibu tak sabar.
“Yaah, terlambat, Bu. Ida pikir tadi itu kain bekas,”
“Maksud kamu…,”
“Kainnya udah Ida buang ke tong sampah, dan kayaknya tadi udah di ambil sama si Bapak tukang sampah keliling itu,”
“Apa?” kedua bola mata ibu melotot, nyaris saja meloncat keluar.
Hanya berselang detik, ibu langsung tergopoh keluar rumah.
“Ibuuu! Mau kemana?” seru Ida heran.
“Ngejar si tukang sampah!”
“Apa?” pekik Ida dengan gurat kejut langsung menghiasi wajahnya. Ia pun terburu menyusul ibu.
***
Kebumen, 20 Mei 2010.
Mengenang Fenomena Mama……….,
Profil Singkat Penulis:
*Sam Edy Yuswanto, lahir di Kebumen 1977. Mahasiswa Tarbiyah STAINU Kebumen, bergiat di FPK (Forum Penulis Kebumen).
*Kegiatan rutin sehari-hari; di depan komputer, memperbanyak jam terbang membaca dan menulis cerpen. Bercita-cita bisa keliling dunia dengan hasil menulisnya (hehehehe).
*Cerpen-cerpennya telah banyak menghiasi media, seperti; Republika, Seputar Indonesia, Pontianak Post, Surabaya Post, Radar Banyumas, Koran Merapi, tabloid Cempaka, Kompas.com dan Annida-online.
*Salah satu cerpennya masuk dalam antologi 12 cerpen pilihan annida-online. Diterbitkan SMG Publishing.
*Cerbung perdananya (Bukan Cinta Manusia Biasa) dimuat secara berseri di annida-online.
*Tulisan lainnya juga telah tersebar di Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Rindang, Misykat, Buletin Forkis dan majalah Community STAINU, Buletin kesehatan dan buletin pesantren

No comments:

Post a Comment