Pages

Wednesday, September 8, 2010

Pangeran Starbucks

Cerpen Swistien Kustantyana
Starbucks I

Begini, kalau ada orang yang bilang bahwa mencintai seseorang itu butuh (banyak) alasan, menurutku orang itu sinting sekali.

"Kenapa kau mencintainya?"
"Karena dia dewasa dan tampan."
"Karena dia cerdas dan lucu."
"Karena dia seksi sekali dengan swimming trunksnya."
"Karena dia punya BMW, tentu saja."

Bah! Menurutku mereka sinting. Tak masuk akal. Terlalu dibuat-buat. Cinta itu tidak membutuhkan banyak alasan. Cinta itu ya cinta. Tidak perlu karena dan kenapa. Aku bisa bilang seperti ini karena aku mengalaminya sendiri. Cinta, betul-betul, tidak butuh karena dan kenapa.

Aku duduk sendirian di depan laptopku. Starbucks tidak begitu ramai saat weekdays. Well, setidaknya tidak sepenuh weekend. Jarum jam yang menempel di angka delapan menunjukkan hampir empat jam aku berada di sini. Memang, sepulang dari kantor tadi aku langsung melesat ke sini. Pikiranku yang selalu dipenuhi draft-draft surat kontrak perjanjian dan bahan-bahan rapat setiap harinya membuatku sering berada di sini. Untuk mengurangi kadar stresku, aku memilih kopi dan laptop. Mereka berdua teman yang baik sekali. Juga pain killer yang sangat ampuh. Dan kau tahu, kopi Starbucks itu mmm.... Sepertinya surga langsung pindah ke mulutku begitu aku menyesapnya.

Biasanya aku tak pernah selama ini berada di sini. Walaupun Starbucks itu buka 24 jam, aku sering bergegas pulang karena ingin menonton acara musik kesukaanku di TV. Tapi malam ini aku bertahan di sini dan melewatkan acara musik kesayanganku itu. Jika kau tanya kenapa, entahlah. Aku pun bingung. Oh ya, jawaban yang paling masuk akal (dan terlalu didramatisir), itu karena memang Tuhan menginginkan aku lebih lama di sini. Tuhan ingin menunjukkanku seorang laki-laki yang membuatku jatuh cinta.

Dia datang sendiri, berjalan melewatiku dan kemudian berdiri di seberangku untuk memesan minuman. Dan kau tahu, aku langsung jatuh cinta. Aku tak memedulikan protes kedua mataku yang terasa pedih karena aku enggan berkedip. Laki-laki itu begitu menarik. Begitu sayang untuk dilewatkan. Dia tidak begitu tinggi. Rambutnya agak gondrong. Jaketnya hitam dan dibiarkan terbuka begitu saja, menunjukkan kemeja berwarna sama di dalam jaket itu. Lengan jaketnya yang digulung sebatas siku memperlihatkan tiga wristband di pergelangan tangan kanannya dan sebuah jam tangan hitam di tangan kiri. Wajahnya biasa saja. Angka 7 jika kau beri Darius Sinatriya 8,5 dan Christian Sugiyono 9. Oh ya, Gaston Julia Perez 9,5 karena kulit cokelatnya itu seksi sekali.

Dan yang paling membuatku bahagia, dia membawa ransel. Cepat-cepat kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan memekik girang dalam hati saat tahu bahwa satu-satunya tempat yang kosong untuk membuat laptopmu terus menyala hanya di sini. Di mejaku. Aku pun sibuk berkomat-kamit berdoa agar dia duduk di sini.

Tapi doaku hanya sebentar bertahan. Sama sekali tidak dikabulkan Tuhan. Dia melenggang melewatiku sambil membawa minuman. Dia duduk di luar.

Kau percaya kekuatan cinta? Jika tidak, kuberitahu, kekuatan cinta itu memang benar-benar ada.

Mataku tak pernah lepas darinya. Secepat kilat kututup semua dokumenku, log out dari Facebook dan email-emailku, dan mencabut stop kontak charger laptop. Kumasukkan semua dalam tas dengan tergesa-gesa. Aku tak mau kehilangan dia. Setengah berlari aku pergi ke konter dan memesan minuman lagi. Tak sampai lima menit aku sudah duduk di salah satu meja di luar. Di tempat di mana aku bisa dengan sangat leluasa memandanginya.

Dia duduk sendirian. Itu, sementara ini, membuatku lega. Aku bilang sementara karena siapa tahu tiba-tiba ada seseorang yang menghampirinya. Akan lebih buruk lagi kalau seseorang itu perempuan. Dan cantik.

Tapi aku masih bisa bernafas lega. Sudah tiga puluh menit dan dia masih duduk sendirian. Dia bersandar di kursinya, memandang menembus jendela restoran cepat saji di samping. Kualihkan pandanganku sebentar. Aku penasaran dengan apa yang dipandanginya. Lalu, kulihat sederet perempuan langsing dan luar biasa cantik berdiri berderet di dalam restoran untuk mengantri. Aku mendengus kesal. Tapi hei, seharusnya aku bersyukur, bukan? Perempuan-perempuan yang langsing dan cantik itu membuatnya sibuk sehingga aku bisa dengan leluasa memandanginya lagi.

Dia menyalakan pemantiknya lagi. Kalau tidak salah hitung, itu rokok ketiga setelah sesapan kopi pertamanya. Punggungnya disandarkan di kursi dan kakinya dijulurkan di samping meja. Dia kelihatan lelah sekali. Sesekali matanya terpejam. Aku begitu tergelitik ingin tahu apa yang dia pikirkan.

Sedetik kemudian sebuah ide yang sangat bodoh melintas di kepalaku. Aku ingin mengajaknya mengobrol. Tapi aku tidak seberani itu. Kupandangi dia lama-lama. Saat ini tatapannya jatuh ke deretan mobil-mobil sepanjang jalan Thamrin. Macet. Sangat Jakarta. Sementara mataku sibuk mengikuti tatapannya, hatiku sibuk bertengkar, apakah aku akan pergi menyapanya atau hanya duduk diam, mengaguminya, di sini.

Bukankah Kartini berjuang untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan? Apakah itu berarti lampu hijau bagi perempuan untuk melakukan pendekatan sama persis seperti laki-laki yang mendekati perempuan yang disukainya? Tapi bukankah ada pihak-pihak yang menyebutkan bahwa itu sudah kodrat laki-laki untuk menjadi yang agresif? Untuk menjadi sang pemburu? Dan laki-laki tidak begitu suka jika bagiannya itu diambil alih oleh perempuan?

Oh shut up! Aku membentak hatiku yang bertengkar. Okey, ladies, aku tidak akan menyapanya. Aku hanya akan berdiri, berjalan melewatinya dan berharap dia akan tersenyum. Oke? Hanya itu. See, aku bijaksana, bukan? Aku memilih jalan tengah. Dan aku tidak berharap banyak. Aku hanya berharap dia tersenyum untukku. Sederhana, bukan?

Aku tersenyum, puas dengan keputusan yang kuambil. Kurapikan bajuku sebelum aku melangkah melewati mejanya. Ya, dia memandangku. But, shit, tak lebih dari dua detik. Dia langsung memalingkan wajahnya ke deretan perempuan langsing dan cantik di antrian restoran cepat saji itu. Bahkan saat aku kembali lagi ke mejaku, yang berarti aku melewati mejanya lagi, dia tidak memandangiku sama sekali. Kau tahu, aku hampir saja menangis. Rasanya malu sekali. Mungkin menurutmu aku berlebihan. Tapi perasaan tidak diinginkan dan tidak diacuhkan membuatku malu sekaligus sedih. Malu + sedih = menangis.

Kantor

Dulu aku bilang orang yang butuh banyak alasan untuk mencintai seseorang itu sinting sekali. Dan sepertinya sekarang aku harus menambahkan satu lagi kriteria untuk masuk ke dalam kelompok sinting sekali ini.

"Sudah lebih dari satu minggu ini kulihat kamu selalu terburu-buru pulang kerja."
"Iya, benar. Tumben. Ada apa sih?"
"Kencan berturut-turut, setiap hari, sepulang kerja? Great!"
"Aku pernah melihatmu beberapa kali keluar dari Starbucks dalam dua minggu terakhir."
"Ha? Kamu kencan dengan waiternya ya?"
"Gee..., that's really hot!"

Tiga orang temanku, Astrid, Lala, Nadine, seperti sudah berkomplot untuk menyerangku sore ini. Beberapa menit sebelum jam empat, aku sudah membereskan laptop dan semua berkasku di meja, seperti kebiasaanku hampir dua minggu terakhir ini. Yang membuat sore ini berbeda adalah ketiga teman satu ruanganku itu berdiri mengelilingi mejaku dan menghujaniku dengan komentar dan pertanyaan yang sungguh tidak penting.

Menurutku, orang-orang yang mempunyai energi berlebih untuk memperhatikan hidup orang lain dan mengomentarinya itu orang-orang yang sinting sekali. And sorry to say this, Astrid, Lala, dan Nadine saat ini masuk ke dalam kelompok itu.

"Freeze, ayolah. Kenapa tidak kau ceritakan saja yang sebenarnya kepada kami?" Astrid memandangiku dengan tatapan memelas.
"Sepertinya kau bertemu seseorang yang sangat menarik dan kau tidak mau membaginya dengan kami," tatapan Lala tidak kalah memelas.

Aku memutar bola mataku.

"Freezardianti, you are such a naughty girl!" Nadine berdecak.

Sekarang aku mengerang. "Come on, Nadine. Don't be a drama queen today!"

Aku menghempaskan pantatku di kursi. Memandang putus asa ke tiga orang di depanku yang masih saja berdiri dan menatapku penuh selidik.

"Kalian ini kenapa sih?" aku mulai frustasi. Jam mungil di atas mejaku sudah menunjukkan angka 4.30. Itu berarti aku terlambat 30 menit untuk pergi ke Starbucks. Sebetulnya tidak begitu masalah karena toh dia, laki-laki berjaket hitam, ber-wristband, dan bernilai 7 itu akan datang sekitar pukul tujuh. Tapi kan aku butuh waktu ke toilet untuk memperbaiki penampilanku sebelum dia datang!

"Lho, harusnya kami yang tanya kau ini kenapa!" protes Lala. Bibir tipisnya mengerucut cemberut.
"Lala is right. Why don't you just tell us what's going on?" suara manja Nadine terdengar.
"Astaga, Tuhan.... What should I tell you?" aku mencengkeram kepalaku. Rasanya mau meledak. Benar-benar frustasi menghadapi tiga temanku ini.

Mereka bertiga memicingkan mata.

"What?" aku berteriak frustasi. "Listen! Hell, yeah, I go to Starbucks a lot lately. And ladies, you are damn right, it's because of a man. No, Lala, he's not the waiter!" aku menggeleng cepat saat Lala menggumamkan kata waiter. Sepertinya Lala terlalu banyak menonton film komedi romantis buatan Hollywood sehingga dia berpikir aku jatuh cinta dengan waiter Starbucks.

"Nadine, I don't have sex with him!" aku mengerang saat Nadine bergumam sambil memainkan matanya menggodaku. "Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku berkencan." Sekarang aku betul-betul frustasi. Tubuhku melorot di kursi.

"Siapa dia?" Astrid sibuk mengamatiku, mencari tanda-tanda aku berbohong.
"Tidak tahu," suaraku berubah menjadi sangat sedih.
"Haaa?" mereka bertiga kompak ber-haaa.

Aku menutup wajahku dengan tangan dan kemudian memijit pelipisku pelan. "Aku benar-benar tidak tahu. Dan kalau kalian tidak mengizinkanku pergi secepat mungkin, mungkin aku akan kehilangan satu hari untuk mencari tahu tentang dirinya!"

"Ho ho ho, hampir dua minggu dan belum tahu siapa dia!" giliran Astrid berdecak.
"Please, deh," Lala memutar bola matanya.
"If I were you, I would just say hello and ask his name. Then, his job. Then, his car. That simple," Nadine menggeleng-gelengkan kepalanya sambil meringis.

"Aku bingung," desahku. "Apakah Kartini akan mengizinkanku melakukannya? Mendekati that guy, maksudku. Itu bisa dikategorikan dalam emansipasi tidak ya?" aku menggaruk kepalaku.

"Oh, ayolah! Kenapa kau sampai ingat Kartini? Starbucks bahkan belum dibangun saat dia masih sibuk menulis surat!" komentar Lala. Astrid dan Nadine tertawa.

"Sial kalian," aku mencibir.

Lalu menit-menit setelah itu aku gunakan untuk menjelaskan jam-jam yang aku habiskan di Starbucks hanya untuk memandanginya dan bagaimana dia tidak pernah tahu bahwa aku, Freezardianti, do exist in this world.

Diantara decakan-decakan tidak percaya dan gelengan kepala (karena salah satunya aku bisa menyebutkan berapa kali dia, that Starbucks guy, menghembuskan asap rokoknya dalam satu jam), tiga perempuan yang sejak tadi sudah duduk di kursi melingkari mejaku memberikan banyak sekali analisa dan masukan. Hah. Benar-benar perempuan.

"Nah, kau sudah mengerti sekarang, kan?" Astrid tersenyum puas.
"Go for it, Baby!" Nadine yang duduk di sebelahku menepuk bahuku untuk memberikan semangat.
"Oke, sekarang saatnya kembali bekerja. Dan biarkan Freeze pergi menemui pangerannya di istana Starbucks," Lala mengedipkan mata.

Lalu, mereka bertiga pergi meninggalkan aku yang masih saja duduk merosot di kursi. Sekarang rasanya aku malah ingin bunuh diri!

Dua tempat penting (untukku) di Thamrin

Kemarin dan hari ini aku memutuskan untuk tidak pergi ke Starbucks. Alih-alih, aku pergi ke restoran cepat saji di sampingnya. Bukan, bukan untuk mengamati perempuan-perempuan langsing yang berderet teratur setiap harinya itu, tapi untuk sesuatu yang sebenarnya aku enggan untuk bercerita.

Kemarin aku langsung pulang ke kos. Memikirkan segala analisa Astrid, Lala dan Nadine. Dan itu adalah hal terburuk yang pernah kudengar. Menurut tiga perempuan itu, Antariksa tidak melirikku karena, hei tunggu sebentar, kau sudah tahu Antariksa, kan?

Antariksa itu that Starbucks guy. Ya, sang Pangeran di istana Starbucks. Apa yang terjadi kemarin serba kebetulan. Saat aku browse cara cepat menjadi langsing (itu yang ingin kukatakan tadi, Antariksa tidak melirikku karena aku tidak cukup langsing dan penampilanku tidak cukup menarik. --Ha!--), aku menemukan Antariksa diantara berjuta-juta artikel yang kubaca malam itu.

Antariksa, 33 tahun, single, wakil direktur sebuah perusahaan swasta raksasa yang bergerak di bidang telekomunikasi dan baru-baru ini menyabet sebuah penghargaan untuk karirnya yang begitu cemerlang di usia yang begitu muda.

Ternyata radarku untuk jatuh cinta masih bisa diandalkan. Dia begitu hebat, bukan? I know there is something in him. Tapi bagian yang paling buruk adalah sebuah fakta yang menyakitkan bahwa dia, sebagai laki-laki hebat, selalu dikelilingi perempuan cantik dan langsing. Fiuh!

Astrid, Lala dan Nadine setuju satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah membuat tubuhku lebih langsing lagi (Hei, aku tidak menderita obesitas, tapi juga tidak bisa dikatakan langsing. Oke, kata yang tepat untuk situasi itu adalah overweight.) dan membuat penampilanku lebih menarik. Dan itu membuatku begitu menderita.

Tapi bukan Freezardianti namanya kalau menyerah begitu saja. Bundaku mengajarkan bahwa segala sesuatu dalam hidup haruslah diperjuangkan. Aku tidak mau kalah begitu saja. Lagipula, aku rasa, sebagai seorang perempuan nilaiku tidak kurang dari 7 (jika kau beri Artika Sari Devi nilai 9). Aku memang tidak secantik Nadine dan tidak seseksi Lala. Tapi otakku bisa disejajarkan dengan Astrid (dia Kepala salah satu bagian di perusahaan kami dan aku wakilnya).

"Mbak Freezardianti?" sebuah suara lembut perempuan membuatku tersentak dari lamunan.
"Ya," aku menatapnya. "Mbak Nadia?" aku balas bertanya.

Dia mengulurkan tangan, "Betul. Saya Nadia."

Menit-menit setelah itu Nadia habiskan untuk menjelaskan produk makanan herbal yang dipromosikannya bisa membuatku langsing dan sehat dalam waktu singkat. Aku mendengarkannya dengan tekun. Menyimak dengan teliti apa yang harus aku lakukan.

Setelah Nadia mengukur lingkar dada dan pinggangku (serta sederet ukuran dan timbangan lainnya), aku langsung berpamitan pulang. Jika kau pikir aku langsung pulang ke rumah untuk kemudian membaca lagi buku panduan untuk menjadi langsing itu, kau salah. Aku melarikan mobilku ke sebuah tempat gym masih di sekitar Thamrin.

"Bisa bertemu Hanz?" tanyaku ramah pada resepsionis cantik di belakang meja.

Perempuan itu begitu cantik. Dengan pakaian minim, tubuhnya terlihat seksi. Rambutnya lurus terawat dan wajahnya dengan riasan yang tidak begitu tebal tampak begitu cantik. Sebentar kemudian, sebelum perempuan cantik itu selesai berbicara di telpon, seorang laki-laki berbadan kekar dan berwajah tampan menghampiriku.

"Saya Hanz," katanya seraya mengulurkan tangannya. "Anda Freezardianti yang menelpon tadi pagi?"
"Benar," tanganku menjabat tangannya.

Sepertinya aku tersesat di dunia Barbie dan Ken, di mana semuanya tampak indah dan sempurna. Lihat saja resepsionis itu dan Hanz. Penampilan mereka betul-betul sempurna. Tidak ada lemak yang salah tempat. Pakaian yang sempurna melekat di tubuh yang sempurna. Betul-betul memberiku alasan kuat untuk bunuh diri sekarang juga!

Untung saja penjelasan Hanz bisa membuatku mengurungkan niat untuk bunuh diri. Hanz membawaku berkeliling dan menjelaskan berbagai macam alat-alat gym beserta fungsinya. Aku langsung mengucapkan terimakasih saat Hanz bilang aku boleh mencoba beberapa alat. Seperti aku tidak cukup lelah saja malam ini! Dan Hanz berhenti memaksaku mencoba saat aku melunasi biaya pendaftaran dan biaya latihan selama satu bulan. Hanz tersenyum lebar saat aku berjanji akan kembali untuk latihan pertamaku besok.

Hah! Makanan herbal dan alat-alat gym. No pain no gain. One-month target. Only for Antariksa. Hanya empat hal itu yang kupikirkan sebelum aku terlelap tidur.

Starbucks II

Jantungku berdetak cepat sekali. Tanganku terasa dingin saat aku tersenyum pada sekuriti yang membukakan pintu untukku di Starbucks. Entahlah. Rasanya aku betul-betul grogi setelah sebulan tidak pernah mampir ke tempat ini. Semua ini gara-gara Antariksa. Aku tak boleh minum kopi jika tidak ingin program dietku hancur berantakan.

Di depan konter, aku berdiri, sibuk membaca daftar minuman. Aku tahu seharusnya aku menjadi anak baik dengan memesan teh tanpa gula (Bah! Teh tanpa gula di Starbucks! Yang benar saja!), tapi semenit kemudian aku sudah melenggang keluar dengan membawa segelas cappucino di tangan. Hei, aku sudah berdiet ketat selama sebulan. Aku layak mendapatkan hadiah, bukan?

Aku melangkahkan kakiku ke kursi di luar dimana aku biasa duduk. Dan aku kaget saat tahu Antariksa sudah duduk di kursinya. Cepat-cepat kulirik jam tanganku. Baru jam enam dan dia sudah duduk manis di situ.

Baru saja aku duduk, bahkan aku belum sempat meletakkan tasku di kursi sebelah, sebuah suara mengagetkanku. Jika tadi aku hanya kaget, sekarang kaget 10x lipat. Kosakata apa coba yang bisa digunakan untuk mendeskripsikan perasaanku itu? Shock. Oh oke. Aku shock.

"Sendirian?" tanya Antariksa. Senyumnya mengembang. (Ya, kau tidak salah baca. Memang Antariksa.)

Aku mengangguk. Aku tidak cukup cerdas untuk menjawab selagi aku masih shock.

"Boleh duduk di sini?" Antariksa menunjuk kursi di depanku.

Aku mengangguk lagi.

Antariksa duduk dan meletakkan gelas kopinya di meja. "Tidak keberatan kan, aku merokok?"

"Tidak," akhirnya aku bisa bersuara juga.
"Oke." Dia tersenyum lega. "Aku Antariksa," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Sudah tahu, jawabku dalam hati. Tak urung kusambut tangannya dan kusebutkan namaku, "Freezardianti. Panggil saja Freeze."

"Nama yang bagus," dia memandangku tanpa berkedip.
"Namamu juga bagus," aku tersenyum dan balas memandangnya untuk pertama kali dalam jarak sedekat ini. Ternyata dia tidak setampan yang kukira. Jadi, jika dulu kuberi dia nilai 7 karena aku selalu melihatnya dari jauh, kau bisa kira-kira sendiri berapa nilainya sekarang.

"Kamu kerja di mana? Kalau aku kerja di ...," dia menyebutkan sebuah perusahaan yang sama sekali tidak asing bagi telingaku.

Aku hanya tersenyum. Geli sebetulnya karena aku selalu berkomentar dalam hati "sudah tahu" untuk nama dan tempat dia bekerja. Seandainya aku tidak bisa menahan diri, pasti sudah kusebutkan universitasnya dulu, musik dan film favoritnya, bahkan id ym, plurk, twitter miliknya (aku berterimakasih pada dewa Facebook untuk itu).

Beberapa menit kemudian kami sudah terlibat perbincangan hangat yang mengasyikkan. Menakjubkan bagaimana tubuh seksi, baju putih tanpa lengan dan berleher rendah, jins ketat hitam, dan sedikit make up membuat Antariksa betah mengobrol denganku.

Aku pun sempat berandai-andai. Seandainya aku tidak mati-matian diet (successfully lost 8 kilos in a month!), apakah sekarang Antariksa mau duduk denganku dan mengobrol seperti ini? Aku tidak butuh jawabannya karena sebentar kemudian aku menyeringai, senang. Aku sudah merasa menang. See, segala sesuatu memang harus diperjuangkan. No pain no gain. That's absolutely true.

Starbucks III

Aku memesan teh tanpa gula di Starbucks (akhirnya!). Hari ini aku mendisiplinkan diriku lagi. Dan aku memilih kursi di sudut dekat kamar mandi. Masih jam empat, jadi aku punya waktu sekitar dua sampai tiga jam untuk menyelesaikan draft surat kontrak sebelum bertemu dengan Antariksa. Kami memang tidak janjian. Antariksa bahkan tidak bertanya apakah aku akan ke sini hari ini. Tapi sebelum berpisah, dia bilang, "See you tomorrow." Itu sudah jelas sekali, kan?

Aku begitu tekun membaca draft-draft itu di laptop. Dan ketika aku sudah selesai mengedit dua lembar draft surat itu, aku ingin pergi ke toilet. Aku melirik jam. Sudah jam lima lebih, mungkin satu jam lagi Antariksa datang. Jadi sekalian saja kubawa peralatan make-upku.

Aku berdiri di depan toilet. Menunggu karena ternyata sedang ada orang di dalam. Aku memandang sebentar ke seluruh sudut di dalam Starbucks. Tidak begitu ramai sore ini. Malah cenderung sepi. Mungkin karena hujan sudah mengguyur Jakarta sejak siang tadi. Saat aku sibuk mengira-ira apa yang harus kubicarakan nanti dengan Antariksa, tiba-tiba pintu toilet terbuka.

Aku kaget melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Dia tak kalah kagetnya dengan aku.

"Hai. Tumben sudah datang?" aku yang lebih dulu pulih dari rasa kaget.

Antariksa tersenyum. Lalu, tiba-tiba saja, Antariksa meraih tanganku. "Mau ke dalam?" katanya sambil melirik ke kamar mandi.

Aku kaget (lagi). Dan tanpa menunggu jawabanku, Antariksa menarikku begitu saja.

Dia menciumku. Sungguh. Di toilet. Di Starbucks. Jika ada kuis untuk menuliskan kegilaan apa yang pernah dilakukan, aku akan menyebutkan ini.

Mungkin hanya satu menit, tapi rasanya seperti berabad-abad. Mungkin itu karena kami berdua sama-sama takut. Bagaimana nanti kalau ada pelanggan yang mengantri di luar? Pikiran itu sudah cukup untuk membuatku berkeringat dingin. Lalu, kami pun keluar dari toilet.

Antariksa menyeringai. Aku melakukan hal yang sama.

Sebelum sempat mengucapkan satu pun kata, hpku berdering. Aku memberi tanda pada Antariksa yang sudah duduk bergabung di mejaku.

"Halo. Oh. Oke. Aku ke kantor sekarang," sahutku dan langsung membereskan laptopku.
"Kamu harus pergi?" wajah Antariksa terlihat merana.
"Maaf," kataku sambil menepuk pipinya.

Yuhuu... Saved by the bell! Aku menyeringai saat berjalan ke arah pintu keluar. Dan saat aku sudah berada bermeter-meter di luar Starbucks, aku tak bisa menahan diri lagi. Aku tertawa terpingkal-pingkal.

Kau tahu, ciumannya itu payah sekali!
Jakarta. November 13, 2009.
http://www.swistien.com/

*Cerpen ini pernah dimuat di majalah CHIC (27 Januari – 10 Februari 2010)

No comments:

Post a Comment