CATATAN SEPI SATU
Adakah jembatan paling kekal di hatimu
Selain ruas cinta yang akan mengantarmu
Ke menara itu
Maka pahamilah bahwa jalanan ke sana
Teramat dingin dan terjal
Sedang keraguan adalah duri duri perih
Yang akan melukai langkah kecilmu
Sekali lagi aku mengajakmu melengkapi perbekalan
Sebelum tubuhmu menggigil dirajam kesepian
Saat baju kesabaranmu tanggal satu persatu
2010
CATATAN SEPI DUA
Ingin kucuci helai helai kenangan buruk
Yang kutenun bersamamu, dunia
Sebelum senja tiba
Sebelum warna lain mencelupnya dengan musim pancaroba
Engkau di mana?
Sedang alamat yang kugenggam tak lagi mengenalmu
Bahkan jalan setapak ke pintu rumahmu
Padahal cahaya bulan telah kupinjam
Agar rindu yang kupintal menjelma kain pengantinku
2010
LIRIK LAUT
Karena ombak maka laut jadi berarti
Tapi anginlah yang memaksa musim terus berganti
Di gelombang hatiku aku berenang dan menyelam
Mendulang garam dari deburnya yang diam
2010
DARI KHOTBAH JUM’AH
Jalan terang mengalir dari kata katamu yang merdu
Membangun pagar pagar kepatuhan
Bagi setiap langkah yang diliarkan ke hutan hutan
Seratus taman bunga berjajar ke masa depan
Menanti ciuman bagi setiap cinta yang akan disandingkan
Rumah mewah bagi ribuan ruh
Yang merindukan tempat berteduh
2010
SANG GEMBALA
Hatiku seekor kuda liar
Yang meringkik di padang padang gusar
Di belantara kelam, di tengah cuaca yang mengancam
Kukendalikan langkahku sebelum taring musim
Membunuhnya dengan cekikkan
Sebelum jurang dendam, sebelum kebencian yang curam
Mengurungnya dalam sepi yang mencekam
Ke kebun kebun anggur, ke lahan lahan subur
Ke padang padang cinta kukendalikan tubuhku
Karena di sanalah hakikat hidup yang dirindukannya
2010
LIRIK CINTA SANG PENYAIR
Dari rahimnya yang sejati kau dilahirkan
Karena ia adalah ibumu,leluhur kehidupan
Hulu bagi sungai peradaban yang mengalir di tubuhmu
Yang begitu tulus dan gembira
Melepas setiap keberangkatanmu kapanpun juga
Sedang perjalanan langkahmu yang mengalun itu
Takan pernah keluar dari peta yang telah ditetapkan
Dan kau tak mungkin kuasa mengingkari gerak airnya
Hingga mencapai wujudmu yang sejati
Di muara sajak sajakmu
2010
SENAPAN CINTA
Karena jarak maka sepi begitu abadi
Menggigilkan ruhku memeram sebutir peluru
Membidik jantungmu dengan doa bulan madu
2010
TARIAN AZIMAT
Kugosok dengan mantra tahun tahun berat semediku
Dengan mantel wafak kutempuh dingin dan angkernya malam
Yang dipekatkan ribuan bayang bayang hantu
Kubongkar dadaku dengan keraguan yang memilu
Di dalamnya kubendung sungai sungai mahabbah yang disucikan para peziarah
Yang memancarkan percik percik auramu di tubuhku
Aku tak ingin menyerupaimu, rambut dan jenggotmu yang lebat itu
Aku mewarisi keteguhan dan kesetiaan batu batu
Dari bukit kesadaranku aku melihat deru teluhmu
Membelah langit hitam lalu menjelma gerombolan burung gagak
Memburu tiap tiap sekarat dan cekikan ajalku
Tapi aku selalu mampu mengelak dan meloncat seperti seorang pesilat
Dengan tarian cinta aku berputaran kesurupan
Lalu kuundang bulan serta ratusan khodam ke dalam khusukku
Demi kesempurnaan wujudku yang diliputi debu
Tapi wajahku tetap saja menyerupai hantu yang pucat itu
Hidupku terlanjur jadi sesajen yang gembira menempuh kutukkan
Akupun sebutir adzimat yang mengkilau kemudian
Setelah waktu mengeramnya dalam ruang keramat yang ribuan
Kuulang merangkai bunga menata jampi jampi yang kupetik dari selasar kitab
sastra
Sedang hatiku masih tetap gelegak dupa
Yang setia mengepulkan liarnya kata kata
Aku memburu kesejatian wujudku, desis keris
Sambil mengiris jubahmu yang bergantungan di ruang pertapaanku
Kini rambutku semakin berkibaran di langit para penyair
Menyerupai gelombang rambutmu yang keperakan sebagian
Sedang di dalam darahku deru teluhmu dan getar mantraku
Masih terus bersetru dengan anasir anasir ghoibnya yang berkilatan
Tapi aku tak lagi mencari kemenangan melainkan keselarasan
Kugosok terus tubuhku dengan kata kata hingga berkilauan
Tanpa khawatir lagi menyerupai siapapun
Karna kemiripan adalah hukum kehidupan yang tak mungkin terelakkan
Tasikmalaya, 2010
LIRIK PERJALANAN
Tanpa jembatan mimpimu takan pernah sampai
Menjumpai wujudnya yang sejati
Seratus jembatan telah kubangun dan kuruntuhkan
Di hatiku. Melintasi khianat sungai yang menderas di pikiran
Yang curam dan menggigilkan, melintasi lembah risau
Melintasi taring maut yang mengendap di reruncing rasa takut
Yang membuatmu selalu berjarak dan terasing
Dari jangkauan rinduku yang mendesing
Sambil mengenangmu aku berjalan menempuh kabut
Menyusuri lorong rahasia yang dipendam rahim waktu
Jalanan menukik dan menanajak adalah hakekat pencarian
Yang mematangkan setiap kehadiran, desis angin
Ketika nafasku tersengal di sebuah kelokan
Dari jauh kulihat gaunmu nampak berkibaran
Menjelma seratus mata air
Kubasuh tubuhku dengan seribu hujan doa
“Hanya kaki kaki yang tulus dan sabar
yang melangkah lebih kekal” jerit selembar daun
Yang terlepas dari tangkai usianya
Sedang satu satunya jembatan paling mahal
Adalah keyakinan yang dipadatkan
2010
TAKZIAH
Aku bertolak dari pelukan cintamu
ketika musim gugur membayangi sorot matamu
yang semakin redup
Ketika sawah sawah mengepulkan hangat birahinya
lalu menjelma lembar sajadah yang terbentang
jauh hingga ke tepi kuburku nanti
Di antara keteguhan batu batu serta kesetian pagar pagar bambu
telah kuhirup matahari ke dalam mabukku
Akupun tersungkur dan melumpur sepanjang urat nadimu
bersama ratusan cangkul yang memantul di pematang hatiku
Bersama sebutir pasir aku berdzikir lalu kureguk isi sungai
dengan bibirku yang gemetar
untuk membasahi perjalananku yang kian mendekati sunyi
Katamu, hidup adalah mencangkuli diri seperti seorang petani
Kucangkul terus tubuh dan hatiku hingga keringatku mendidih
menyemburkan wangi kesturi
2010
DI DALAM KERETA
Katamu, stasiun adalah isyarat keberangkatan dan kepulangan
bagi setiap perjalananmu
Tapi kau selalu datang dan pergi dengan derit yang menyakitkan
hingga kabut selalu turun menyelimuti hangatnya percakapan
Melulu aku gelagapan meski telah kulengkapkan sejumlah perbekalan
doa doa serta surat cinta warna merah muda
Tak ada tiket gratis di sini, desis masinis dengan wajah sedingin moncong
senapan
Aku kian menggigil di ujung kepedihan bangku bangku
Sedang gerimis yang mengantar langkahmu adalah bahasa lain
dari kekecewaan yang tak terucapakan
Lalu lengking peluit menjeritkan sebuah keberangkatan di hatiku
yang tak bisa ditahan
Sepanjang rel aku menghitung gerbong usia dengan lembar kalender
yang berjatuhan ke dasar jurang
Tak ada yang tersisa, kecuali gemuruh langkahmu membayangi ingatanku
sedang bangku bangku dan pintu pintu itu kian dingin dan membeku
tapi selalu ada kunci lain bagi setiap rahasiamu
Aku terkejut ketika seorang perempuan tua terbakar kesia siaan
dan itu yang paling kutakutkan
Dari lubang jendela hatiku ke arah langit masih sempat kubaca isyarat lain
Tapi masa depan tetaplah sebuah terowongan
Gelap dan dingin
Tasikamalaya,2010
HIDZIB SANG PETAPA
Tahun tahun pertapaanku mungkin hanya debu kesia siaan yang menguap di udara
Bersama kembang tujuh warna telah kutabur mantra ke atas peti matiku yang dingin
Aku menyerupai keteguhan batu wulung yang dihuni anasir anasir ghaib
Sedang rajah langit dan bumi masih saja dibayangi gumpalan kabut hitam
Tak ada jalan pintas bagi seorang penyair, sindir batu akik
sambil memeram cahaya bulan di perutnya
Tanpa ketabahan kau akan perlaya disantet kata kata
Seorang pengkhianat akan mati lebih cepat dari usia semestinya
Kini aku sebilah keris berwafak yang dikekalkan ratusan asap dupa
Hatiku mungkin sekepal kemenyan hitam yang kecoklatan
Kesaktianku kini kian melimpah. Bumi dan langit kusishir menjadi pakaianku
sekaligus batu asah yang menderu
Kepadaku pasir dan serangga makin fasih berbicara
Dan aku makin memahami kesedihannya
Akupun menghitung lekukkan usia serta ketajaman yang disimpan mataku
Berulang kali langit kurobek dengan keliaran tubuhku yang terus meliuk
Lalu hujan turun lebat sekali membanjiri mimpi mimpi
Aku semakin kasmaran kutarik tubuhmu ke ranjang basahku
Sepanjang hari aku mensyukurinya dengan tarian yang menyemburkan wewangian
Aura auraku kian menyilaukan. Sebab kearifan telah disarungkan para dewa di
hatiku
Di tubuhku dedemit dan para iprit menakutkan kukembalikan ke tempat asalnya
Agar kau mampu memandang wajahku dengan jelas dan lekat
Sebagai sajak
2010
DI KAMPUNGKU AKU MELUKIS
Seperti hujan yang ditumpahkan siang hari
Derai rambutmu memutih disepuh angin musim
Dengan wajah cemas anak anak bergelantungan memanjati kehidupan
Dari puting susumu yang bercabang itu kemudian menyuling lembar uang
Yang dirakit menjadi gedung juga jembatan gantung
Untuk menyebrangi sungai sungai kemiskinan
Di rahimmu aku menanam bijian cinta
Tapi yang tumbuh hanyalah tunas tunas sajak
Yang merambat di batang usiaku
Di bentangan kain usiamu
Orang orang begitu gembira mewarnai diri
Dengan letusan mimpi yang disungaikan musim haji
Kemudian memperlebar jalan dengan tumpahan tinta
Yang dikeramatkan dan dibasahi ratusan hujan doa
Di tangga tangga jembatan aku masih saja bergulingan
Sambil memilih warna tinta aku menandai alamat yang sering kulapakan
Dari sebrang sungai masih kukenang kata katamu
Bahwa tinta yang baik mesti digali dari kedalaman waktu
2010
DI PANTAI INI AKU MENDEKAPMU
Pasir yang basah menyentuh ujung hatiku
Kudekap dengan kata kata yang belum sempat kukenal
Sepanjang pantai aku mengerang menahan rindu yang bertahun
Sedang tangisanmu selalu menahan kepergianku
Dari langit yang jauh segerombolan burung hitam terbang merendah
Tapi lesatan matahari memerasnya menjadi hamburan debu
Langkahku mendekati semedi karang
Kuhikmati setiap gelombang yang pergi dan berpulang
Langit yang biru selalu meneteskan harapan baru
Bagi siapapun yang memelihara keteguhan karang
Setiap ombak selalu menjengkal jarak
Sekaligus ruang pekat untuk digeluti dan ditafsirkan pemabuk
Tapi tak mudah untuk menjinakanmu
Bertahun aku memeram kail dan melempar umpan
Di atas tongkang yang selalu kulayarkan ke lautan
Sebab penyair adalah petapa sekaligus pemburu kata kata
2010
SEBUAH SUNGAI
laju air sepertinya sangat patuh pada sungai
tapi hulupun dengan senang hati begitu merestui
bahkan muara begitu tak sabar menunggu
dengan debaran penuh rindu
air terus berlari meloncati batu juga akar akar bambu
keliaranmu makin kufahami sebagai suluh pematanganku
sambil bergerak ke arah tepi kujernihkan fikiran fikiran
kuhancurkan setiap buih yang menyumbat tenggorokanku
melewati sunyi bebukitan
nyanyianmu kian memabukkanku
iramanya bagai ribuan jarum alit yang menancap di tubuhku
semakin mendekat ke muara gerak lajumu kian membabi buta
sedang hujan yang kautampung di matamu
menjadi beban baru bagi penyelamanku
sebuah sungai baru menggali terowongan di tebing tebing hatiku
mengalirkan kata kata jernih ke dalam sajak sajaku
2010
KAFE ITU BERNAMA DUNIA
mataku pecah saat ujung lidahmu yang liar
mengucurkan arak
kautanggalkan pakaian lalu kaurebahkan dadamu
di antara sendok dan garpu
kau tarik leherku ke ujung pisau dengan senyum paling risau
tapi lampu lampu itu menyeret lenganku ke balik sehelai pintu
lalu mengajarku memilih hidangan yang disajikan
ribuan botol waktu kautumpahkan ke tepi meja
membasahi perbincangan memecah gelas-gelas impian
di meja yang lain orang orang bersulang
dengan gelas penuh bara
kemudian melucuti seluruh isi kepala
dan melontarnya ke nganga jendela
aku terjaga saat musik menghentikan iramanya dengan terpaksa
lalu melontarku ke mulut kesepian paling purba
2010
MENENUN KAIN KAFAN
adalah gulungan waktu yang menderu mencari jejakmu
kemudian lembar sepi yang terkubur di luar kamarmu
tanpa cinta masih kutenun gaun pengantinku
antara impian dan ranjang bulan madu
tapi perkawinan selalu gagal kutemukan
bahkan ciumanmu kini lenyap dari urat leherku
jalanan kian sunyi dan mendaki
benang hakikatku berkilauan menyulam cahaya
matahari menuntun mabukku melebur warna baju
kini aku helai makrifat yang berkibar di udara
begitu dekatnya engkau ternyata
kulukis di kain kafanku
2010
MENJADI PETANI
: NYALA IMANA
dari tebing kecemasanku yang curam, aku menggigil
menahan rindu serta ragu. tapi masih kukenang
sawah yang bugil dan coklat itu adalah tubuh perempuan
di rahimnya yang basah telah kupesan bulan madu terpanjang
yang kelak akan mengandung dan melahirkan anak-anak kehidupan
selalu akan tumbuh padi-padi yang indah dari fikiran-fikiran yang diruncingkan
sedang tarian air selalu mengalir dengan sendirinya
dari lembah ketulusan yang disunting kesabaran
dari puncak terjauh sungai waktu begitu risau mengalun
menyeret kesendirianku meloncati pematang demi pematang
dan aku telah berulang kali menghamilimu sepanjang musim
dengan bajak yang terkokang dalam sajak
dengan kata-kata yang mengepul dan menjelma sebotol arak
akupun mabuk dan extase berulang kali
tapi masih harus kusempurnakan setubuh ini
meski aku tak hentinya melumpuri jiwa dengan cinta
sawah sejati adalah usiamu sendiri
terbujur antara kaki ibu hingga kaki kuburmu
di mana di dalamnya terhampar tanah subur
yang harus kaubajak dengan fikiran-fikiran terbijak
keinginan adalah benih termurni yang kau tanam sesungguh hati
yang kelak akan kaupanaen sebagai pahala abadi
jika ketulusan menjadi satu-satunya pupuk
yang membasuh segala gerak sera doa-doa yang kaureguk
menjadi petani adalah kesepakatan dan pilihan
bukan kutukan atau hukuman atas perselingkuhan adam
yang diwariskan
Tasikmalaya, 2009
YUSRAN ARIFIN, adalah penyair dan cerpenis dari Sanggar Sastra Tasik [SST]. Karya-karyanya pernah dimuat di H.U. Pikiran Rakyat, Majaalah Syir'ah,Majalah Aksara, S.K. Priangan, Harian Radar Tasikmalaya, Buletin Puitika.
Beberapa sajaknya termuat dalam Antologi bersama, antara lain:Orasi Kue Surabi [GKT 2000], Enam Penyair Membentur Tembok [SST 2001],Poligami [SST2002]. Menuju Ke Utara, Antologi Mengenang Wan Anwar
(2010) Membcakan sajak-sajaknya di berbagai tempat. Salah satunya di PDS H.B Yasin Taman Ismail Marzuki.Di samping menulis,ia bekerja sebagai pengrajin bordir. Kini tinggal di jl. Air Tanjung, kawalu,
Tasikmalaya.
No comments:
Post a Comment