INSOMNIA tidak lagi disebut hanya gangguan tidur semata, tetapi sudah ditasbihkan sebagai penyakit serius. Pada pria dengan insomnia, risiko kematiannya bisa lebih tinggi empat kali lipat.
Insomnia dapat diartikan sebagai suatu keadaan seseorang mengalami kesulitan untuk tidur atau tidak dapat tidur dengan nyenyak setiap malamnya. Penyebab insomnia di antaranya karena rasa tertekan yang dialami oleh pengalaman traumatis, penyakit berat, masalah emosional dan fisik, serta faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, dan kebisingan juga dapat menyebabkan gangguan tidur.
Insomnia umumnya hanya berlangsung selama beberapa waktu dan terbagi menjadi beberapa klasifikasi sesuai dengan berapa lama kondisi ini dialami seseorang. Secara garis besar, insomnia dibagi atas insomnia akut (acute insomnia) dan insomnia kronis (chronic insomnia). Insomnia akut berlangsung dalam waktu yang singkat, yaitu antara satu malam sampai beberapa minggu.
Adapun insomnia kronis yaitu bila penderitanya mengalaminya selama sedikitnya tiga malam dalam seminggu dan berlangsung selama satu bulan atau lebih. Pada kebanyakan orang, insomnia sebenarnya tidak secara langsung menyebabkan kematian. Namun, kurang tidur bisa memicu gangguan kesehatan serius yang meningkatkan risiko kematian.
Penelitian terbaru selama 14 tahun menunjukkan, pria yang menderita insomnia memiliki risiko kematian empat kali lipat lebih tinggi daripada yang kebiasaan tidurnya normal selama minimal 6 jam sehari. Bahkan, risiko akan bertambah lebih banyak yaitu lebih dari tujuh kali lipat bagi penderita insomnia dengan diabetes atau tekanan darah tinggi. “Insomnia adalah penyakit yang serius,” kata peneliti Alexandros N Vgontzas MD dan rekan-rekannya dari Penn State University, Amerika Serikat. ”Kami menemukan bahwa insomnia terkait dengan masalah fisik. Ini temuan baru yang membuat insomnia digolongkan kepada masalah kesehatan, sama dengan mendengkur atau sleep apnea,” lanjutnya seperti dikutip laman Webmd.com.
Dalam pengujian di laboratorium, Vgontzas menyebutkan, peningkatan risiko kematian terlihat dalam diri seseorang yang mengaku menderita insomnia yang tidur kurang dari enam jam sehari. Sementara, orang yang mengaku tidak memiliki insomnia, tetapi kurang tidur tidak memiliki risiko kematian yang meningkat secara signifikan. Juga tidak terjadi peningkatan risiko pada diri penderita insomnia yang tidur lebih dari enam jam sehari.
Penelitian ini memang hanya melibatkan partisipan pria. Bagaimana efeknya pada wanita? Hasilnya sedang menunggu untuk dipublikasikan. Para peneliti mulai mempelajari risiko insomnia pada wanita setelah lima tahun mereka selesai mempelajarinya pada pria. Karena wanita cenderung hidup lebih lama dibandingkan pria, makanya hasil akhir studi tersebut belum dicantumkan.
Namun, dalam laporan sebelumnya, tim Vgontzas menyebutkan bahwa baik wanita maupun pria dengan insomnia akan menderita tekanan darah tinggi, berisiko terkena diabetes, dan memiliki masalah neurokognitif seperti kehilangan daya ingat, konsentrasi yang buruk, dan reaksi melambat dibandingkan orang yang jam tidurnya normal.
”Ini merupakan studi yang sangat penting,” kata pakar masalah tidur, Lisa Shives MD, yang menjabat sebagai direktur medis di Northshore Sleep Medicine, Evanston, Ill, Amerika Serikat. Dia juga menjadi juru bicara American Academy of Sleep Medicine, yang tidak terlibat dalam studi Vgontzas ini. Shives mengungkapkan, orang dengan insomnia cenderung mengalami sistem saraf simpatetik (flight or fight system) yang otomatis membuat semua organ terkait dengan imbas stres menegang.
”Kita seharusnya mendapatkan tujuh atau delapan jam setiap malam untuk tidur dengan tubuh dalam kondisi diam,” katanya. ”Denyut jantung kita, tekanan darah kita akan lebih rendah, sistem saraf simpatetik kita juga turun ketegangannya. Tetapi, pikiran seseorang yang tidak mampu untuk mendapatkan itu semua, yang berada di bawah tekanan stres kardiovaskular, ini yang kita sebut dengan insomnia,” papar Shives.
Vgontzas dan rekan studinya melakukan penelitian terhadap 1.741 pria dan wanita yang dipilih secara acak. Semua partisipan harus menginap semalam di laboratorium. Saat waktu tidur aktual mereka diukur. Peneliti menemukan fakta bahwa tidak semua orang yang mengaku penderita insomnia benar-benar tidur kurang dari yang seharusnya dan juga tidak semua orang yang tidur kurang adalah penderita insomnia.
Namun, tmuan utama studi ini adalah penderita insomnia yang tidurnya bermasalah di laboratorium akan berisiko secara signifikan meningkatkan penyakit dan kematian. ”Insomnia selama bertahun-tahun hanya dianggap sebagai gangguan, sebagai masalah kecil yang mudah diatasi,” kata Vgontzas. ”Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa insomnia adalah masalah kesehatan yang nyata dan serius,” ujarnya.
Shives sangat setuju dengan pernyataan Vgontzas.
Dia mengungkapkan bahwa beberapa orang penderita insomnia benar-benar tidur lebih baik saat berada di laboratorium, atau di hotel, daripada di rumah masing-masing. Orang yang tidurnya di laboratorium bermasalah, Shives menyatakan mereka mungkin masuk ke dalam subkelompok yang berisiko sangat tinggi (menderita penyakit dan kematian).
Shives dan Vgontzas juga sepakat dengan hal lain yaitu insomnia sangat sulit untuk diobati. Ini berlawanan dengan pendapat umum bahwa perawatan ang saat ini tersedia untuk penderita insomnia sangat terbatas. ”Kita benar-benar harus meningkatkan upaya lebih banyak untuk menemukan pengobatan baru,” katanya.
“Saya tahu setiap perusahaan mengiklankan obat pil tidur, tetapi obat ini berpengaruh dalam jangka waktu sebentar. Padahal, insomnia berlangsung dalam waktu yang lama.
Pasien kami frustrasi dengan kami, dan kami frustrasi dengan minimnya keberhasilan,” kata Vgontzas. ”Sisi negatif tentang ini adalah kita tidak mengerti soal insomnia dengan baik dan memperlakukan (penderita) dengan sangat buruk,” kata Shives. ”Pil tidak akan membuat orang untuk tidur tujuh atau delapan jam sehari.
Paling-paling mereka hanya mendapatkan enam jam. Sebagian besar pasien bahkan merasa lebih parah ketika mengonsumsi pil. Lalu, banyak penderita insomnia yang menganggap pil seperti mukjizat, sampai-sampai tidak terasa telah mengonsumsinya selama satu tahun dan mereka tidak bekerja lagi,” katanya.
Shives mengatakan, orang dengan insomnia menderita penyakit fisik yang nyata. Namun, bagi pasien yang tidak mendapatkan bantuan obat-obatan, dia sering merekomendasikan terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy/ CBT) dengan bantuan seorang psikolog yang berkualitas. ”Lebih dari dua sampai empat tahun, CBT ini lebih efektif daripada obat,” katanya.
”Tetapi tetap saja, ini berarti merawat pasien dengan masalah fisik yang serius dan mengajari mereka menggunakan alat psikoemosional untuk mencoba mengendalikan tubuh mereka. Insomnia benar-benar gangguan yang memenuhi seluruh pikiran dan tubuh pasien,” ujar Shives. Penelitian Vgontzas ini muncul dalam edisi 1 September jurnal kesehatan Sleep.
(Koran SI/Koran SI/tty)
No comments:
Post a Comment