
DI antara partai kedua setiap grup di Piala Dunia 1994, pertarungan Argentina kontra Nigeria dianggap paling menggairahkan dan ditunggu banyak orang. Banyak cerita dan kisah yang diperkirakan bakal lahir.
Pertama, sang maestro Diego Maradona bakal tampil. Selain itu, Nigeria menjadi tim kejutan dari Afrika yang menakjubkan. Mereka tampil begitu perkasa, setelah di pertandingan pertama menghajar Bulgaria 3-0. Padahal, sebelumnya Bulgaria lebih diunggulkan. Sementara di pertandingan sebelumnya, Argentina ternyata masih garang dan menghajar Yunani 4-0.
Wajar jika partai ini dinilai bakal seru. Bahkan, kabarnya para wartawan lebih terfokus ke pertandingan ini daripada partai lain. Tim kejutan melawan tim yang penuh pengalaman.
“Ini pertandingan penting bagi Nigeria. Kami menghadapi tim yang pernah juara dunia dan diperkuat pemain terhebat (Maradona, Red). Kami menghormati mereka, tapi tak akan menyerah begitu saja,” kata kapten Nigeria, Peter Rufai, sebelum pertemuan kedua tim.
Setelah kemenangan atas Bulgaria, Nigeria memang memiliki kepercayaan diri yang besar. Apalagi, tim berjuluk Super Eagle itu sedang dianugerahi materi pemain yang berkualitas. Banyak nama-nama pemain yang mulai besar dan menjadi incaran klub-klub Eropa. Sebut saja Rashidi Yekini, Finidi George, Sunday Oliseh, Daniel Amokachi, Emmanuel Amunike, Samson Siasia, dan tentu kiper berwibawa Peter Rufai.
Penampilan perdana Nigeria saat lawan Bulgaria sudah menunjukkan Nigeria sangat potensial. Setelah Kamerun di Piala Dunia 1990, kejutan dari Afrika diperkirakan justru datang dari Nigeria. Faktanya, mereka memang lebih solid daripada Kamerun yang mulai menurun.
Benar juga. Argentina langsung terkena sengatan kejutan dari Super Eagle. Baru menit ke-8, sebuah aksi Rashidi Yekini dan Samson Siasia mampu membobol gawang Argentina. Memanfaatkan assist Yekini, tanpa kesulitan Siasia menaklukkan kiper Luis Islas.
Sontak, sttadion Foxboro pun bergemuruh. Banyak orang kemudian berpikir, Argentina bakal kembali kalah oleh tim dari Afrika. Setelah takluk 0-1 dari kamerun di Piala Dunia 1990, kali ini Argentina bisa menyerah kepada Nigeria.
ORKESTRASI EL DIEGO
Setelah unggul, Nigeria semakin percaya diri. Mereka terus menerapkan permainan menyerang. Gempuran demi gempuran kerap dilancarkan para pemain Nigeria, hingga membuat Argentina kewalahan. Yang menarik, para pemain Nigeria juga memamerkan teknik sepak bola yang cukup mengagumkan.
Namun, pengalaman akhirnya lebih mampu berbicara. Argentina tak terpengaruh oleh tekanan dan permainan energik Super Eagle. Mereka lebih sabar mengembangkan permainannya sendiri yang khas ala tarian Tango.
Poros kekuatan itu tak lain berasal dari seorang Diego Maradona. Meski sudah tua dan mulai lamban, sang maestro mampu mengorkestrasi permainan Argentina dengan rapi. El Diego, demikian sering disebut, menjadi inspirasi dan pengatur yang masih brilian.
Beda dengan sebelumnya, Maradona tidak mau menonjol sendirian. Dia memotivasi rekan-rekannya agar bermain secara tim, tidak terkonsentrasi kepadanya. “Kami tampil dengan banyak pemain menyerang. Aku sendiri, Gabriel Batistuta, Fernando Redondo, Diego Simeone, Abel Balbo, dan Claudio Caniggia. Maka, kami harus mampu lebih banyak menguasai bola secara tim dan saling membantu. Jika tidak, kami bisa kalah 0-5, karena pertahanan akan sibuk menerima gempuran,” jelas Maradona.
Sekali lagi Maradona sukses menjadi roh tim. Kali ini perannya tak hanya mengkreasi permainan, tapi juga memotivasi para pemain agar tampil secara tim, saling bekerja sama. Hasilnya sukses. Argentina tampak sangat pengalaman. Mereka tetap tampil sabar dan cerdik, meski ketinggalan. Caniggia akhirnya menjadi penentu kemenangan Argentina, setelah mencetak dua gol pada menit ke-22 dan 29. Gol terakhirnya berkat assist Maradona.
Kehebatan Nigeria luntur oleh permainan tim yang rapi dan penuh pengalaman. Bahkan, bintang Brasil waktu itu, Bebeto dan Romario, memuji permainan Argentina. Kepada Maradona mereka mengatakan, “Argentina sekarang lebih bermain sebagai tim dan sangat menakutkan,” kata Maradona dalam bukunya El Diego, menirukan pujian kedua pemain Brasil itu.
Nigeria pun mendapat pelajaran yang sangat berharga. Kelak, mereka menjadi sadar bahwa kecerdasan dan kesabaran juga penting dalam sepak bola. (HPR)
Rekaman pertandingan
Ajang: Babak penyisihan Piala Dunia 1994 Grup D
Skor: 2-1
Tanggal: 25 Juni 1994
Stadion: Foxboro
Penonton: 54.453
Wasit: Bo Karlsson (Swedia)
Skuad Argentina: Luis Islas (kiper), Jose Chamot, Roberto Sensini (Hernan Diaz 87), Oscar Ruggeri, Fernando Caceres, Fernando Redondo, Diego Maradona, Diego Simeone, Claudio Caniggia, Gabriel Batistuta, Abel Balbo (Mancuso 71) (Pelatih: Alfio Basile)
Skuad Nigeria: Peter Rufai, Eguavoen, Uche Okechukwu, Chidi Nwanu, Michael Emenalo, Samson Siasia (Adepoju 57), Sunday Oliseh (Okocha 86), Finidi George, Rashidi Yekini, Emmanuel Amunike, Daniel Amokachi (Pelatih: Clemens Westerhof)
Sang Dewa Digelandang Polisi
Kemenangan atas Nigeria menggembiarakan Maradona. Dia ikut melakukan selebrasi dengan rekan-rekannya. Namun, di tengah kegembiraan itu, seorang perawat yang didampingi polisi mendatangi Maradona. Bahkan mereka kemudian menggelandangnya ke ruang pemeriksaan doping.
“Aneh. Baru kali ini seorang pemain langsung dijemput di lapangan untuk pemeriksaan doping. Tapi aku menurut saja, karena merasa sudah bersih dari segala pengaruh obat,” kata Maradona.
Ternyata, itu menjadi awal dari akhir kebesaran Maradona di Piala Dunia. Tiga hari kemudian, saat dia ngobrol dengan istrinya Claudia, pelatih Alfio Basile datang dan memeluknya. “Maradona, test dopingmu positif. Kamu harus meninggalkan Piala Dunia,” tutur Maradona menirukan informasi pelatihnya.
“Saat itu juga dunia serasa runtuh. Aku mempersiapkan diri dengan berat untuk mengikuti Piala Dunia. Tapi, kemudian dipaksa pulang hanya karena tuduhan yang tak berdasar,” rutuknya.
Menurut Maradona, ini sudah politis. Dia sengaja difitnah positif doping oleh sindikasi besar. “Ini karena mereka tak mau aku besar kembali. Sebab, aku sering memprotes FIFA dan kapitalis. Mereka tak ngin pengaruhku makin luas. Demi Tuhan, aku tak doping di Piala Dunia 1994. Suatu saat, aku akan membuktikannya,” tegas Maradona.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Dia tetap dinyatakan positif doping. Sehingga, Tim Tango tak lagi diperkuat pemain yang sudah dianggap dewa itu. “Aku hanya bisa menangis. Aku seperti anak kecil yang sudah kehilangan segalanya,” aku Maradona.
Tangisannya diikuti air mata jutaan penduduk Argentina. Sang Dewa terpaksa tak bisa tampil pada pertandingan berikutnya. Argentina pun kalah dari Bulgaria 0-2 dan langsung tersingkir.
Kali ini, Argentina cry for Maradona. (*)
No comments:
Post a Comment